Review Inside Out 2, Jadi Remaja itu Berat, Beb!

Jadi, pada akhirnya semua akan berbicara tentang mental health? Iyes, topik ini memang tidak ada usangnya untuk diangkat dalam sebuah karya, entah itu tulisan maupun film. Termasuk ke salah satu film animasi terbaru Disney ini. Akhirnya, filmnya rilis juga dan kali ini aku coba menulis review Inside Out 2 ini.

Well, aku bingung mau memulai dari mana. Soalnya, semua sisi film ini benar-benar menarik untuk dibahas. Seperti biasa, akan ada sedikit spoiler di sini ya (aku usahakan minimal, biar tidak menyurutkan niat untuk baca).

Review Inside Out 2

Bukan  Pixar namanya jika tidak bisa menyisipkan sesuatu yang unik pada tema yang udah umum. Jika biasanya, kita hanya melihat gambaran tentang kesehatan mental itu dari perspektif di luar tokoh utama, kali ini, mereka membahas pentingnya kesadaran terhadap kesehatan mental dari sisi dalam diri remaja itu sendiri. Maksudnya apaan sih?
 
Review film Inside Out 2, Pict form Disney.id


Sebelum memulai ulasan Inside Out 2 ini, kamu bisa baca bocoran singkatnya di postingan Sinopsis Inside Out 2.

Secara singkat, gadis ceria kita, si Rilley akhirnya memulai pubertas. Ini ditandai dengan berderingnya alarm tombol Puberty di  Console emosi dan mengagetkan kelima emosi lamanya. Tidak seberapa lama, perubahan terjadi di Markas mereka, mulai dari renovasi ruangan secara dramatis, pergantian Console yang saat disentuh sedikit saja sudah membuat emosi Rilley berubah drastis, hingga datangnya emosi-emosi baru yang diketuai oleh si Anxiety.

Pada awalnya, semua emosi kompak dalam satu barisan. Meski si Anxiety udah mulai aneh-aneh, si Joy masih bisa mengontrol keadaan. Namun, situasi di dalam Markas berubah ketika ada satu pencetus yang membuat hidup Rilley jungkir balik seperti kondisinya di film pertama.

Format yang digunakan di film kedua ini masih tetap sama dengan film pertama. Rilley mengalami peralihan emosi ketika dihadapkan dengan perubahan. Iyes, siapa sih yang siap dengan sebuah perubahan ketika sudah telanjur nyaman dengan zona selama ini? Jangankan anak umur belasan tahun, orang dewasa saja tidak secepat itu bisa menerimanya.

Perubahan ini menjadi awal persaingan. Anxiety dengan segala riset dan proyeksinya akan masa depan Rilley mulai berusaha mendominasi seperti seorang penjajah yang sok tahu. Joy, seperti biasa, bertahan dengan sisi positifnya untuk membuat Rilley tetap bahagia. Di sepanjang film, kita kembali disuguhi perjuangan Joy untuk menyelamatkan Rilley lengkap dengan segala tantangan. Sementara di lain pihak, Anxiety mulai melakukan banyak hal yang mengubah Rilley menjadi orang lain. Hmmm… kedengarannya tidak asing ya? Hahahaha.

Meski format yang digunakan mirip, tetapi film Inside Out 2 ini sama sekali tidak membosankan. Penonton akan diajak menelusuri lebih dalam ke alam emosi Rilley. Ada semacam tebing tempat pembuangan emosi yang tidak bermanfaat, ada pula mode curah pendapat di yang memberi kepala Rilley semacam ide-ide nakal lengkap dengan angin dan hujannya. Yang terpenting, fitur kolam pembentukan jati diri  (aku lupa namanya, tidak sempat catat) yang menjadi esensi utama film ini.

Setelah segala keruwetan dan petualangan tersebut, pada akhirnya kita akan dihadapkan pada kenyataan bahwa siapa pun itu, entah dewasa atau pun anak-anak, menginginkan kehidupan yang bahagia.

Meningkatkan Kesadaran Terhadap Kesehatan Mental Remaja

Sudah aku bilang di awal bahwa film ini memiliki misi untuk menyadarkan audiens tentang pentingnya kesadaran terhadap kesehatan mental remaja. Sebagai kaum yang disebut ababil, mereka masih mudah dipengaruhi lingkungan. Apa itu jati diri? Apa itu menjadi diri sendiri? Entahlah.


Rasa ingin diakui dan kecemasan akan masa depan bisa membuat mereka berubah menjadi sesuati yang bukan dirinya sendiri. Hal ini terjadi pada Rilley. Ia berubah menjadi orang yang ambisius dan egois karena cemas tidak memiliki teman di masa depan. 

Nonton Inside Out 2


Karakter Anxiety menjelaskan bagaimana perilaku remaja bisa berubah drastis dalam semalam. Ketika kecemasan tersebut diberikan kuasa, maka ia akan mendominasi, memaksa sang empunya kepala melakukan sesuatu di luar kontrol, dan akhirnya menyingkirkan emosi-emosi lain termasuk kegembiraan.

Metafora ini dijelaskan dengan lugas dalam Inside Out 2. Sepanjang film, kita akan dibuat gemas oleh karakter Anxiety yang mengubah Rilley tercinta kita hingga menjadi sosok yang berbeda. Tidak heran jika penonton membenci Anxiety dan menjadikannya tokoh antagonis.

Meskipun begitu, kita terpaksa mengakui bahwa Anxiety tidak selamanya jadi emosi yang jahat. Anxiety yang membuat karakter Rilley berkembang. Dari Anxiety  kita bisa belajar bahwa meski lewat sebuah perjuangan yang berdarah-darah, hal buruk pun bisa menjadi pelajaran berharga.

Film Anak-anak atau Cerminan Asli Isi Kepala Manusia, sih?

Hahaha... Betul sekali, kawan. Dalam review Inside Out 2 ini, aku ingin bilang bahwa film ini cukup mampu menggambarkan kondisi emosi asli manusia. Persaingan antar Joy dan Anxiety adalah hal nyata dalam kepala manusia. Bagaimana serangan Anxiety juga bisa membuat Joy tersingkir hingga si pemilik kepala tidak menemukan lagi yang namanya kebahagiaan. 
 
Selain cengkeraman Anxiety yang erat, film ini juga punya arti lain. Tidak hanya tentang Joy yang berjuang untuk bahagia dan Anxiety yang berjuang untuk masa depan dengan menekan jati diri asli personanya, beberapa unsur dalam film juga mengandung sarkas.

Kita akan melihat bagaimana Joy, yang selama ini bersinar, bahagia, dan optimis, di satu titik bisa merasa putus asa. Di lain pihak, Anger yang selalu merespons sesuatu dengan kemarahan, mendadak berubah bijak dan bisa menasehati Joy. Plot twist dari mana itu? Sumpah, adegan ini bikin aku tertawa tapi dalam mode miris.

Film Cerdas

Sejak film pertama, aku berpendapat jika Inside Out ini adalah film cerdas. Meski menyajikan konflik umum, tapi cara interpretasinya benar-benar out of the box. Kita diajak melihat masalah kesehatan mental ini dengan lebih mendalam. Proses bagaimana kecemasan mempengaruhi dan menekan Rilley hingga membuat gadis itu mengalami burn out disajikan secara detail dan bertahap. Metafora kondisi otak saat dalam kondisi tertekan juga bisa memberi kita pengetahuan baru. Sayangnya, karena durasi film terbatas, penyelesaiannya kurasa terlalu cepat. Sebagai penyintas, aku tahu jika kita tidak bisa  mengalahkan kecemasan dalam waktu sesingkat itu (3 hari dalam film). Namun, karena ini film untuk semua umur, tentunya kita tidak boleh membiarkan Rilley berubah menjadi karakter dalam film angst yang terus diselimuti kegelapan, kan?

Intinya, film ini wajib tonton sih kataku. Ada banyak pelajaran yang bisa kita petik meski yah, unsur humornya sendiri tidak begitu, paling hanya sekali dua kali, ketika emosi Nostalgia muncul. Sementara unsur harunya lumayan dapat, meski tidak sekuat film pertama. Di film pertama itu aku sampai nangis bombay, tapi di kedua hanya sampai berkaca-kaca.
 
But, perlukah ada film Inside Out 3? Hmm... Jika tidak ada keterbaharuan storyline, sepertinya cukup sampai di sini ya. Sayang jika ceritanya dibawa ke mana-mana seperti Toy Story dan Despicable Me
 
Sampai di sini dulu ya review Inside Out 2. Maaf jika kebanyakan spoiler, habisnya aku semangat banget nulis ulasannya. Hahaha.

Posting Komentar untuk " Review Inside Out 2, Jadi Remaja itu Berat, Beb!"